Dalam Alquran
(QS 95: 4), Allah SWT menyatakan manusia diciptakan dalam sebaik-baik bentuk,
ahsanu taqwim. Maksudnya, manusia diciptakan dalam tampilan dan sosok fisikal
yang sedemikian rupa memenuhi standar dan syarat untuk bisa menjalani
kehidupannya di dunia yang penuh tantangan ini.
Ini artinya,
manusia diciptakan dengan memenuhi standar kelayakan untuk mampu menjalani
kehidupan, yakni diberi organ tubuh yang lengkap dan sehat sebagaimana lazimnya.
Bahasa teknisnya, manusia lahir ke dunia dalam keadaan sehat jasmani dan rohani.
Jadi, yang dimaksud dengan ahsanu taqwim bukanlah berkaitan dengan persoalan
estetika erotis: cantik, tampan, langsing, atletis, dan
sejenisnya.
Masalah cantik,
tampan, dan seterusnya tergantung dari bahan mentahnya. Lantas mengapa kita
tidak jarang menjumpai anak-anak yang lahir dalam keadaan tidak normal, lahir
tidak sebagaimana lazimnya? Misalnya, lahir cacat fisik, cacat mental, dan
semacamnya? Siapakah yang salah? Tuhankah, dengan pertimbangan Dia sebagai
Khalik (Pencipta)? Jika memang Tuhan, berarti Dia menyalahi karakter azali-Nya
untuk menciptakan manusia hanya dalam sebaik-baik bentuk.
Untuk meneropong
masalah ini, ada baiknya jika merujuk pada disiplin Ulumul Quran. Menurut Hamim
Ilyas, doktor Ulumul Quran dari IAIN Sunan Kalijaga, ketika Tuhan, di dalam
Alquran, mengidentifikasi suatu perbuatan yang merujuk pada-Nya dengan kata
ganti 'Kami' (Nahnu, Inna, dan sejenisnya), pola seperti itu menunjukkan bahwa
di dalam proses perwujudan perbuatan tersebut ada keterlibatan pihak (subjek)
lain, bukan hanya aktivitas Dia sendiri.
Misalnya, ketika
Tuhan menyatakan, 'Sesungguhnya Kami (Inna) yang menurunkan Alquran dan
sesungguhnya Kamilah yang akan menjaganya', mengandung pengertian bahwa bukan
Tuhan sendirian yang aktif menjaga Alquran, tetapi melibatkan pihak lain. Pihak
lain itu bisa saja para penghafal Alquran, ulama, kiai, dan umat Islam pada umumnya.
Begitupun halnya
ketika Tuhan mengidentifikasi dengan kata 'Kami' dalam hal penciptaan manusia,
''Sesungguhnya Kami menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk.'' (At-Tiin:
4). Ayat ini menunjukkan adanya pola kerja sama antara Tuhan dan makhluk-Nya di
dalam proses terwujudnya perbuatan tersebut (menciptakan manusia). Jadi, ahsanu
taqwim kita bukanlah semata-mata hasil kerja Tuhan sendiri, kun fayakun, jadilah
indah (ahsanu taqwim)! Ada keterlibatan/peran kita di dalam prosesnya.
Manusia ikut
berperan dalam menentukan indah atau tidak bentuk ciptaan Tuhan atas manusia.
Dan, Tuhan tidak pernah salah! Mengapa anak-anak lahir cacat? Banyak faktor
manusiawi yang melatarinya, misalnya, karena orang tuanya suka berganti pasangan
sehingga tertular penyakit kelamin; karena orang tuanya tidak menjaga kesehatan
tubuhnya saat mengandung; karena pemerintah menoleransi perzinahan dan
pelacuran; karena pemerintah tidak memperhatikan kesehatan kaum perempuan.
Kesehatan kelamin, kesehatan fisik kaum perempuan (yang hamil), sangat
berpengaruh bagi terwujud atau tidaknya ahsanu taqwim. Wallahu a'lam. (Sabrur R
Soenardi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar