Tahukah Anda,
mengapa hanya sedikit perusahaan yang dapat menerangkan dengan jelas etika
perusahaannya, seperti: profesionalitas, independensi, transparansi, kejujuran,
dan loyalitas, serta mengoperasikan perusahaannya menurut etika tersebut?"
Tanya doktor
filsafat berambut pirang itu dengan serius. Para peserta forum pelatihan singkat hak asasi manusia
(HAM) itu tercekat. Suasana musim gugur khas Australia di luar jendela membuat
suasana semakin pucat.
Simon Longstaff, sang filsuf itu, lalu menjawab sendiri, "Karena
kebanyakan pemimpin dan karyawan perusahaan bekerja hanya untuk bekerja, tetapi
tidak berpikir." Dan wajah para peserta pun terlongong. Tidak berpikir? Bukankah
ketika seorang manusia baru bangun tidur pun, ia sudah segera mulai memikirkan,
terlambat shalatkah ia atau akan sarapan apa ia pagi itu?
"Anda mengerti
maksud saya?" tanyanya kurang yakin. Ia lalu memberi isyarat kepada saya, yang
kebetulan ditugaskan mendampinginya, untuk menerjemahkan paparannya, "Tidak
berpikir artinya tidak pernah bertanya, di mana dirinya, mengapa ia ada di
posisi itu, ke mana ia akan membawa dan dibawa oleh posisi itu, dan sudah
tepatkah dia bertindak selama itu. Tidak berpikir, artinya tidak pernah bersikap
kritis."
Usai kelas, saya
jadi teringat pada suatu peristiwa yang baru saja terjadi, di salah satu
perguruan tinggi di Australia juga. Ketika itu, seorang
mahasiswa pascasarjana yang baru mengusaikan kuliahnya terkejut menerima
surat invitasi
wisudanya, karena dalam wisuda itu ternyata ia dinyatakan akan memperoleh
penghargaan tertinggi.
Risetnya memang
bagus dan ia menyelesaikan studinya dalam jangka waktu yang lebih cepat dari
normal. Tetapi kemudian, ia menyadari bahwa sesungguhnya tidak semua nilainya
A. Padahal, syarat penghargaan tertinggi itu semua
nilai harus A.
Ia ingin
mengonfirmasi penghargaan yang akan diterimanya itu, tetapi hampir tak ada yang
mendukungnya. Mengapa keberuntungan harus dipertanyakan lagi, sehingga membuka
kemungkinan penghargaan, yang tentu menjadi impian semua mahasiswa itu, terbang
kembali dari tangannya?
Tetapi, ia
begitu gelisah, hingga diangkatnya juga gagang telepon, "Saya akan sangat
bergembira menerima penghargaan itu. Tetapi, mohon diperiksa lagi, layakkah
saya?" Dan jawabannya memang adalah kebenaran yang melukai, "Kami sungguh mohon
maaf telah menempatkanmu pada peringkat pertama."
Saya tahu ia
begitu limbung setelah itu. Hampir saja ia mendapatkan penghargaan tertinggi
itu, tanpa seorang pun perlu tahu apakah itu keberuntungan atau keteledoran.
Puluhan orang
lain di tanah airnya, Indonesia , bahkan rela membayar
beberapa juta hanya untuk mendapatkan gelar master atau doktor tanpa harus
bermalam di perpustakaan dan menangis kecapaian selama berbulan-bulan seperti
dirinya.
Dan dia, apa
yang dicarinya dengan melepaskan sebuah gelar impiannya hanya bagi sebuah nilai,
yang mungkin, hanya kesunyian yang tahu?
Dengan mata
basah, ia berjalan menembus malam, sendirian. Konon, hati nurani memang bukan
untuk didefinisikan, tetapi untuk diikuti. Tetapi, hanya kesunyian yang
memahami.
"Hati nurani itu
apa? Saya tidak tahu artinya. Yang saya pahami kini hanya, bahwa hati nurani
selalu tidak mengizinkan seseorang untuk terlalu gembira. Tetapi juga, adalah
hati nurani yang selalu menjadi harga terakhir, ketika ia tengah tersungkur pada
titik terbawah kelemahan dirinya."
Ketika itu,
tampaknya ia memang sedang berpikir. Berpikir seperti itu, yang adalah
mendayagunakan seluruh kekuatan akalnya, ternyata memang tidak sederhana.
Semoga kita
selalu di ridhoi ALLAH SWT, amin... (MIranda Risang AYu)
sumber : rpbk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar