Pasekon --bahasa
Sunda yang berarti alat untuk meluruskan sudut dan siku-siku sebuah bangunan--
konon diambil dari akar kata fasiqan. Sikap membenarkan orang lain walau diri sendiri bengkok dan menyimpang. Ucapan dan
perbuatan takselaras. Karenanya, tidak jarang fasik dikategorikan nifaq atau
munafik.
Walaupun
kebenaran sudah tampak, dirinya tetap malu untuk mengakuinya. Kenyataan ini
terus berlangsung dalam fenomena sejarah. Kisah umat-umat terdahulu yang
dibeberkan Alquran seharusnya menjadi contoh. Kaum Ad, Samud, Bani Israel,
Kanan, dan Abu Jahal, termasuk serangkaian sosok sejarah yang menjadi bukti
secara alamiah bahwa mengingkari kebenaran akan berakhir dengan keterpurukan.
Allah
menegaskan, ''Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka termasuk orang-orang kafir, zalim, dan fasik.''
(QS Al-Maidah: 44, 45, dan 47).
Menurut ayat
tersebut di atas, orang yang tidak mau memutuskan perkara menurut hukum Allah
itu mengingat tiga hal: karena tidak percaya (kufur), berdasarkan hawa nafsu dan
akal yang justru menganiaya/membohongi diri sendiri (zalim), dan memercayai
kebenaran sebatas lips service, dan retorika belaka (fasiq).
Mendahulukan
akal dengan segala keterbatasannya hanya berujung jalan buntu. Wahyu
menggariskan bahwa Islam menyelaraskan ajarannya sesuai dengan fitrah dan akal
manusia. Sebagai agama fitrah, Islam tidak hanya menyatakan ajarannya rasional,
tetapi juga sangat spiritual.
Tanpa wahyu dan
ketulusan, akal itu tidak lebih dari seonggok ego yang cenderung hedonis dan
materialis dan bisa menjerumuskan manusia pada perilaku yang lebih sesat
daripada binatang (QS Al-A'raaf: 179).
Tabiat akal
selalu meminta bukti empirik. Kenyataannya, Bani Israel tetap tidak pernah puas
meski semua bukti kebenaran-Nya telah ditampakkan. Ini bukti, diberi peringatan
atau tidak, orang kafir tetap tidak akan beriman. Mungkin krisis bangsa ini
terus terjadi karena kita selalu segan, emoh, atau malu-malu mengakui syariat
Islam.
Kita mengabaikan
Alquran. Kita terjebak dalam kemunafikan massal. Kita terus menggali lubang
kesalahan yang sama. Kita terus mencari alternatif hukum berikut berbagai
justifikasi akal. Sementara itu, kebenaran petunjuk kita kesampingkan. Kita
memang keras kepala. Kita ingin benar, namun mengenyahkan kebenaran itu sendiri.
Entah sampai kapan!
sumber : rpbk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar