Selasa, 19 Maret 2013

Bangsa Pasekon



Pasekon --bahasa Sunda yang berarti alat untuk meluruskan sudut dan siku-siku sebuah bangunan-- konon diambil dari akar kata fasiqan. Sikap membenarkan orang lain walau diri sendiri bengkok dan menyimpang. Ucapan dan perbuatan takselaras. Karenanya, tidak jarang fasik dikategorikan nifaq atau munafik.
Walaupun kebenaran sudah tampak, dirinya tetap malu untuk mengakuinya. Kenyataan ini terus berlangsung dalam fenomena sejarah. Kisah umat-umat terdahulu yang dibeberkan Alquran seharusnya menjadi contoh. Kaum Ad, Samud, Bani Israel, Kanan, dan Abu Jahal, termasuk serangkaian sosok sejarah yang menjadi bukti secara alamiah bahwa mengingkari kebenaran akan berakhir dengan keterpurukan.
Allah menegaskan, ''Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka termasuk orang-orang kafir, zalim, dan fasik.'' (QS Al-Maidah: 44, 45, dan 47).
Menurut ayat tersebut di atas, orang yang tidak mau memutuskan perkara menurut hukum Allah itu mengingat tiga hal: karena tidak percaya (kufur), berdasarkan hawa nafsu dan akal yang justru menganiaya/membohongi diri sendiri (zalim), dan memercayai kebenaran sebatas lips service, dan retorika belaka (fasiq).
Para pakar tafsir menyebutkan bahwa yang diturunkan Allah itu ada tiga: Alquran, Sunnah, dan akal. Dua yang pertama wahyu, dan yang terakhir fitrah. Hadis Mu'adz bin Jabal yang terkenal itu mengisyaratkan agar kita mendahulukan Alquran, Sunnah, kemudian ijtihad.
Mendahulukan akal dengan segala keterbatasannya hanya berujung jalan buntu. Wahyu menggariskan bahwa Islam menyelaraskan ajarannya sesuai dengan fitrah dan akal manusia. Sebagai agama fitrah, Islam tidak hanya menyatakan ajarannya rasional, tetapi juga sangat spiritual.
Tanpa wahyu dan ketulusan, akal itu tidak lebih dari seonggok ego yang cenderung hedonis dan materialis dan bisa menjerumuskan manusia pada perilaku yang lebih sesat daripada binatang (QS Al-A'raaf: 179).
Tabiat akal selalu meminta bukti empirik. Kenyataannya, Bani Israel tetap tidak pernah puas meski semua bukti kebenaran-Nya telah ditampakkan. Ini bukti, diberi peringatan atau tidak, orang kafir tetap tidak akan beriman. Mungkin krisis bangsa ini terus terjadi karena kita selalu segan, emoh, atau malu-malu mengakui syariat Islam.
Kita mengabaikan Alquran. Kita terjebak dalam kemunafikan massal. Kita terus menggali lubang kesalahan yang sama. Kita terus mencari alternatif hukum berikut berbagai justifikasi akal. Sementara itu, kebenaran petunjuk kita kesampingkan. Kita memang keras kepala. Kita ingin benar, namun mengenyahkan kebenaran itu sendiri. Entah sampai kapan! 
sumber : rpbk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar