Pada suatu hari,
Rasulullah SAW menjenguk Fatimah yang sedang menggiling tepung dengan alat
penggiling. Nabi heran, karena Fatimah tampak menangis. Mengapa? Putri
Rasulullah ini mengaku air matanya meleleh karena kesibukannya yang terus silih
berganti tiada henti. Kepada ayahnya, Fatimah mengungkapkan keinginannya untuk
memiliki budak yang bisa membantu semua pekerjaannya di
rumah.
Nabi pun
mendekati tempat penggilingan. Beliau lalu menghibur putrinya, ''... Allah
berkehendak mencatat kebaikan, menghapus keburukan, dan mengangkat derajatmu
jika engkau menunaikan tugas-tugas keseharianmu sebagai seorang istri dengan
baik.''
Rasulullah
kemudian bersabda bahwa seorang wanita yang dapat berperan sebagai istri yang
baik bagi suaminya, serta sebagai ibu yang baik bagi anak-anaknya, maka Allah
memberinya derajat yang sangat mulia.
Dalam kesempatan
lain beliau juga menjelaskan, jika seorang ibu
meminyaki sendiri rambut anak-anaknya, menyisirinya, mencuci baju-baju mereka
sendiri, maka pahala yang ia peroleh laksana amal memberi makan seribu orang
yang lapar dan memberi pakaian seribu orang yang telanjang (tak mempunyai
pakaian).
Kisah dan hadis
di atas memberi pemahaman yang dalam kepada kita, bahwa hendaknya kita tidak
membuat dikotomi atas amal kita antara yang "duniawi" dan "ukhrawi", sehingga
kemudian kita mengunggulkan yang satu dan meremehkan yang lain.
Sebab, tidak
jarang, apa yang kita anggap remeh ternyata sebenarnya mengandung kemuliaan yang
sangat tinggi. Kita seringkali, mungkin, berpikiran bahwa amal-amal yang mulia
yang "ukhrawi", yakni yang kental nuansa ritual-sakralnya, misalnya jihad fi
sabilillah, haji, shalat nafilah, zikir, dan tadarus.
Kesibukan
sehari-hari, misalnya, kerja di kantor, di pabrik, di toko, di jalan-jalan, demi
menafkahi keluarga di rumah, atau kesibukan di dalam rumah semisal mengurus
rumah dan mengasuh anak, yakni amal-amal profan, "duniawi", kita anggap
remeh-temeh, biasa-biasa saja, bukan amal yang utama nan
mulia.
Padahal, merujuk
pada kisah dan sabda Rasul di atas, jelas sekali bahwa pemahaman seperti itu
keliru. Dalam sudut pandang dan skala tertentu, amal-amal profan, "amal-amal
duniawi" justru sangat tinggi nilainya di hadapan Allah, selama dilakukan dengan
cara dan niat yang baik, sesuai tuntunan yang disunahkan
Rasul.
Suatu kali,
ketika Rasul sedang berkumpul dengan sahabat-sahabatnya, ada seorang pemuda yang
kekar dan perkasa lewat. Para sahabat berkata, "Ah, andaikan kekekaran dan
keperkasaannya digunakan untuk berjihad di medan perang sabilillah, betapa bagusnya."
Tapi, apa
komentar Rasulullah?
Beliau sama
sekali tidak sepakat dengan cara pandang parsial seperti itu. "Andaikan ia masih
punya orang tua di rumah, ia lebih baik menggunakan kekuatannya untuk mengurus
orang tuanya daripada berjihad. Atau, jika dengan keperkasaannya itu ia bekerja
mencari nafkah buat dirinya sendiri agar tidak bergantung pada orang lain, itu
jauh lebih baik daripada jihad." (Sabrur R Soenardi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar