Selasa, 19 Maret 2013

A d i l



Pada suatu hari yang terik seorang musafir bermaksud mencari tempat untuk berteduh. Ia hendak melepas kepenatannya setelah setengah hari perjalanan. Tidak lama kemudian dijumpainya sebuah pohon beringin yang rindang dan berbuah lebat.
Disandarkan tubuhnya yang sudah terasa berat pada batang pohon beringin itu. Sambil tiduran ditebarkannya pandangan ke hamparan sawah di hadapannya. Tampak buah-buah semangka sebesar bola terhampar di sawah itu.
Demi melihat pemandangan tersebut, sang musafir bergumam sendirian, ''Sungguh tidak adil Allah itu. Pohon beringin yang begitu kokoh dan kuat ternyata berbuah hanya sebesar buah anggur. Sedangkan pohon semangka yang begitu kecil dan rapuh berbuah sebesar bola.'' Tidak lama kemudian tertidurlah ia di bawah pohon beringin itu.
Tiba-tiba ada sebutir buah beringin jatuh tepat mengenai kepala sang musafir. Ia terbangun. Dalam hati ia berkata, ''Seandainya saja buah beringin itu sebesar buah semangka entah bagaimana keadaannya jika buah itu jatuh menimpa orang yang berteduh di bawahnya. Sungguh Allah Mahaadil atas segala sesuatu.'' Diucapkannya istigfar berkali-kali untuk mohon ampun kepada-Nya karena telah berani mengatakan bahwa Allah tidak adil.
Cerita itu mungkin sangat sederhana. Banyak orang sudah pernah mendengar atau membaca cerita tersebut. Namun, sayangnya hanya sedikit saja orang yang bisa mengambil hikmahnya.
Sering orang berprasangka kepada Allah atas segala kejadian buruk yang menimpanya. Bahkan terkadang sampai berani menghujat-Nya dengan mengatakan bahwa Allah tidak adil sehingga ada yang sampai kehilangan keyakinannya terhadap Allah sama sekali.
Baik atau buruknya segala sesuatu itu hendaknya harus disandarkan pada aturan-aturan yang telah diturunkan Allah kepada manusia (Alquran). Seperti yang sudah kita ketahui bersama, manusia adalah makhluk yang penuh keterbatasan dan kelemahan.
Seringkali dalam menilai segala sesuatu manusia lebih menekankan pada unsur perasaannya saja. Tidak mengherankan bila timbul prasangka- prasangka buruk kepada Allah, jika yang ada di hadapan/dialaminya itu tidak sesuai dengan yang diharapkannya.
Padahal Allah dengan jelas telah berfirman, ''Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Allah Maha-mengetahui, sedang kamu tidak.'' (QS Al-Baqarah: 216)
Jadi segala sesuatu yang ada di dunia, pasti ada sisi baik yang bisa diambil oleh manusia, meskipun dalam pandangannya teramat buruk karena Allah lebih mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Tidak sepatutnya manusia mengatakan bahwa Allah tidak adil. Sesungguhnya tidak ada yang bisa melebihi ke-Mahaadilan Allah. (Eri Fitriati) 

Adab Bertetangga



Islam memerintahkan umatnya untuk bertetangga secara baik. Bahkan, saking seringnya Jibril mewasiatkan agar bertetangga dengan baik, Rasulullah pernah mengira tetangga termasuk ahli waris. Kata Rasulullah, seperti diriwayatkan oleh Aisyah, ''Jibril selalu mewasiatkan kepadaku tentang tetangga sampai aku menyangka bahwa ia akan mewarisinya.'' (HR Bukhari-Muslim).
Namun, ternyata waris atau warisan yang dimaksud Jibril adalah agar umat Islam selalu menjaga hubungan baik dengan sesama tetangga. Bertetangga dengan baik itu, termasuk menyebarkan salam ketika bertemu, menyapa, menanyakan kabarnya, menebar senyum, dan mengirimkan hadiah. Sabda Rasulullah SAW, ''Wahai Abu Dzar, jika engkau memasak sayur maka perbanyaklah airnya dan bagikanlah kepada tetanggamu.'' (HR Muslim).
Lihatlah, betapa ringan ajaran Rasulullah, namun dampaknya sangat luar biasa bagi kerukunan dan keharmonisan kita dalam bermasyarakat. Untuk memberi hadiah tidak harus berupa bingkisan mahal, tapi cukup memberi sayur yang sehari-hari kita masak.
Untuk menjaga hubungan baik dengan tetangga, Rasulullah juga memerintahkan untuk saling menenggang perasaan masing-masing. ''Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir,'' kata Rasulullah, ''maka hendaknya ia tidak menyakiti tetangganya.'' (HR Bukhari).
Suatu kali, seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah tentang seorang wanita yang dikenal rajin melaksanakan shalat, puasa, dan zakat, tapi ia juga sering menyakiti tetangganya dengan lisannya. Rasulullah menegaskan, ''Pantasnya dia di dalam api neraka!''
Kemudian, sahabat itu bertanya lagi mengenai seorang wanita lain yang dikenal sedikit melaksanakan shalat dan puasa, namun sering berinfak dan tidak menyakiti tetangganya dengan lisannya. Jawab Rasulullah, ''Ia pantas masuk surga!'' (HR Ahmad).
Seorang wanita bersusah payah melaksanakan shalat wajib, bangun malam, menahan haus dan lapar, serta mengorbankan harta untuk berinfak, namun menjadi mubazir lantaran buruk dalam bertutur sapa dengan tetangganya. Rasulullah bersumpah terhadap orang yang berperilaku demikian, tiga kali, dengan sumpahnya, ''Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman
...!''
Sahabat bertanya, ''Siapa, ya Rasulullah?'' Beliau menjawab, ''Orang yang tetangganya tidak pernah merasa aman dari keburukan perilakunya.'' (HR Bukhari).
Suatu kali, Aisyah pernah bingung mengenai siapa di antara tentangganya yang harus diutamakan. Lalu, ia bertanya kepada Rasulullah, ''Ya Rasulullah, saya mempunyai dua orang tetangga, kepada siapakah aku harus memberikan hadiah?'' Beliau bersabda, ''Kepada yang paling dekat rumahnya.'' (HR Bukhari).
Rasulullah menjadikan akhlak kepada tetangga sebagai acuan penilaian kebaikan seseorang. Kata beliau, ''Sebaik-baik kawan di sisi Allah adalah yang paling baik (budi pekertinya) terhadap kawannya, sebaik-baik tetangga adalah yang paling baik kepada tetangganya.'' (HR Tirmidzi). (Didik Hariyanto)

Adab Pertetanggaan



Pesatnya industrialisasi dan globalisasi yang tidak diiringi dengan peningkatan pembinaan jiwa ternyata membawa dampak buruk pada tatanan kehidupan bermasyarakat di negeri ini.
Hedonisme, keglamoran, egoisme, dan individualisme, saat ini amat mudah ditemui di tengah masyarakat kita. Sementara itu, keguyuban, kerukunan, ke-tepa selira-an, pertolong-menolongan, dan kegotongroyongan, mulai terkikis dan memudar sedikit demi sedikit. Akibatnya, masyarakat--khususnya di perkotaan--menjadi sangat tidak peduli dengan anggota masyarakat lainnya.
Ketika diundang dalam pertemuan rukun tetangga (RT), dengan banyak alasan mereka tidak menghadirinya, atau cukup membayar sejumlah uang sebagai ganti giliran meronda kampung. Maka jangan heran bila kemudian penghuni suatu rumah tidak mengenal tetangganya karena tidak ada komunikasi, keakraban, dan kepedulian antarmereka.
Tetangga, karena begitu dekat posisinya dengan kita, dalam keadaan tertentu mereka lebih berarti bila dibandingkan dengan kerabat karena keberadaan kerabat tidak selalu, secara geografis, dekat dengan kita. Tetanggalah yang dalam batas tertentu kita berikan kepercayaan untuk mengurus dan mengawasi harta dan keluarga ketika kita sedang bepergian jauh dan cukup lama.
Dalam Alquran dijelaskan bahwa perintah berbuat baik kepada tetangga disebutkan setelah perintah untuk tidak menyekutukan Allah dan perintah untuk berbakti kepada kedua orang tua. Firman Allah, artinya), ''Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.
Berbuat baiklah kepada dua orang, ibu bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang sombong dan membangga-banggakan diri.'' (QS. An-Nisa:36)
Sejalan dengan pentingnya hubungan bertetangga, maka barang siapa melalaikan hak-hak bertetangga berarti telah melakukan sebuah dosa besar yang terancam siksa neraka. Rasulullah SAW pun sangat menekankan hubungan baik kepada tetangga.
Beliau bersabda, ''Selalu Jibril berpesan kepadaku supaya berbuat baik kepada tetangga, hingga saya mengira kalau ia berhak mendapat warisan.'' (HR. Bukhori-Muslim).
Menolong, bergaul dengan baik, tidak menyakiti, dan memberi pembelaan, merupakan bentuk perbuatan baik kepada tetangga, di samping juga kita perlu memuliakan mereka. Salah satunya dengan memberi hadiah, meskipun kecil nilainya.
Rasulullah pernah menasihati Abu Zar, beliau bersabda, ''Wahai Abu Zar, jika engkau memasak, perbanyaklah airnya. Berilah tetanggamu.'' (HR. Muslim)Demikianlah keagungan ajaran Islam dalam membentuk keharmonisan kehidupan bermasyarakat, hingga perkara sepele.
Namun, kadang kita melalaikannya dan justru membanggakan aturan yang bersumber dari akal sempit dan dituntun oleh hawa nafsu jahat, sehingga timbullah ketimpangan. Wallahu A'lam. (Subhan Fathuddin)

Agama yang Diridhoi



Allah SWT berfirman: ''Dialah yang mengutus rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang-orang musyrik benci.'' (QS. 61: 9). Dari firman tersebut kita dapat menyimpulkan agama terbagi dalam dua bagian, yaitu agama yang berasal dari Allah, agama yang diridhoi yaitu Islam dan agama selain Islam atau dalam ayat itu disebut sebagai ad-diinu kullih. Ayat itu juga menegaskan Islam merupakan agama yang benar.
Bukti bahwa Islam sebagai satu-satunya agama yang diridhoi Allah, dapat pula diperhatikan pada wahyu terakhir yang diterima oleh Rasulullah SAW tatkala beliau sedang melaksanakan haji wada' yang berbunyi: ''Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhoi Islam itu jadi agamamu (QS 5: 3).
Dalam ayat lain Allah SWT menegaskan: ''Sesungguhnya agama (yang diridhoi) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.'' (QS 3: 19).
Ayat lainnya dalam surat Ali Imran, Allah berfirman: ''Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.'' (QS 3: 85).
Ayat-ayat di atas jelas menunjukkan Islam merupakan satu-satunya agama yang diridhoi dan benar. Islam merupakan agama yang sesuai dengan fitrah manusia dan Islam berbeda dengan agama-agama lainnya. Islam merupakan agama yang langsung Allah turunkan melalui rasul-rasul-Nya terdahulu hingga Nabi Muhammad SAW.
Allah berfirman: ''Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada-Nya (agama) orang yang kembali (kepada-Nya).'' (QS 42: 13).
Dalam ayat lainnya Allah menjelaskan: ''Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yaqub, dan anak cucunya, Isa, Ayub, Yunus, Harun, dan Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Daud.'' (QS 4: 163).
Dalam praktik kehidupan agama saat ini, upaya pendangkalan dan penggembosan terhadap akidah umat Islam telah marak dilakukan, seperti dengan beredarnya paham semua agama sama, pernikahan beda agama, dan seterusnya. Karenanya, peningkatan akidah, keimanan, dan keyakinan umat Islam terhadap agamanya menjadi keharusan dalam menghadapi upaya-upaya pendangkalan akidah tersebut. Ini menjadi tugas dan kewajiban ulama, para ustaz, orang tua, dan semua umat Islam. (Mulyana)  

Ahli Waris Alquran



Nabi Muhammad SAW, seperti halnya semua nabi, tidak mewariskan harta, tetapi mewariskan ilmu, kebenaran, dan ajaran dari Allah SWT. Dalam hadis sahih disebutkan, ''Kami para nabi tidak mewariskan (harta). Apa yang kami tinggalkan menjadi sedekah.'' (HR Bukhari).
Apa yang ditinggalkan Nabi, seperti disebut dalam hadis di atas, menurut pendapat banyak pakar, adalah ilmu atau kebenaran dari Allah. Ilmu atau ajaran Tuhan sebagai peninggalan Nabi merupakan sedekah alias menjadi aset atau kekayaan milik seluruh umat manusia, khususnya orang-orang yang beriman kepada Nabi.
Itu sebabnya dikatakan, ''Al-ulama waratsat al-anbiya.'' Artinya, para ulama adalah ahli waris para nabi. Para ulama dan seluruh orang beriman sesungguhnya adalah ahli waris Nabi Muhammad SAW. Sebagai ahli waris, mereka wajib menerima ajaran Islam, memperjuangkan, dan mewujudkan dalam realitas kehidupan.
Firman Allah, ''Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan.'' (Fathir: 32). Sebagai ahli waris Alquran, kaum Muslim menurut ayat di atas ternyata terbagi ke dalam tiga kelompok.
Pertama, zhalim linafsih, merupakan kelompok orang yang menganiaya diri mereka sendiri. Menurut mahaguru tafsir Ibnu Katsir, mereka adalah orang-orang yang suka meninggalkan kewajiban-kewajiban agama dan melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT (muharramat).
Kedua, muqtashid, merupakan kelompok pertengahan (moderat). Mereka adalah orang-orang yang melaksanakan semua kewajiban dan meninggalkan semua larangan agama, tetapi mereka belum mampu melaksanakan hal-hal yang bersifat anjuran (mustahabbat) dan hal-hal yang bersifat keutamaan (ihsan) serta belum bisa meninggalkan hal-hal yang makruh dan syubhat.
Ketiga, sabiq bi al-khairat, merupakan kelompok terdepan dalam kebaikan. Mereka adalah orang-orang yang mampu melaksanakan kewajiban-kewajiban agama dengan sempurna. Mereka dapat disebut sebagai pelopor dan motivator kebaikan, sehingga mereka disebut al-muqarrabun, yaitu orang-orang yang dekat atau didekatkan kedudukan mereka di sisi Allah SWT (Waqi'ah: 11).
Menurut Imam al-Razi, kelompok pertama merupakan cermin dari orang yang dikendalikan oleh hawa nafsu, sedangkan kelompok kedua merupakan cermin dari orang yang berjuang. Suatu kali mereka menang, tetapi pada kali yang lain mereka kalah atau dikalahkan. Sementara kelompok ketiga merupakan cermin dari orang yang menang dan mampu mengalahkan godaan nafsu dan setan.
Setiap Muslim, setingkat dengan kemampuan yang dimiliki, wajib berusaha meningkatkan kualitas diri dari strata zhalim linafsih ke strata muqtashid, dan selanjutnya dari muqtashid ke strata sabiq bi al-khairat, sebagai strata paling tinggi dan yang merupakan ahli waris Alquran dalam arti yang sebenar-benarnya. Wallahu a'lam. (A Ilyas Ismail) 

Ahsanu Taqwim



Dalam Alquran (QS 95: 4), Allah SWT menyatakan manusia diciptakan dalam sebaik-baik bentuk, ahsanu taqwim. Maksudnya, manusia diciptakan dalam tampilan dan sosok fisikal yang sedemikian rupa memenuhi standar dan syarat untuk bisa menjalani kehidupannya di dunia yang penuh tantangan ini.
Ini artinya, manusia diciptakan dengan memenuhi standar kelayakan untuk mampu menjalani kehidupan, yakni diberi organ tubuh yang lengkap dan sehat sebagaimana lazimnya. Bahasa teknisnya, manusia lahir ke dunia dalam keadaan sehat jasmani dan rohani. Jadi, yang dimaksud dengan ahsanu taqwim bukanlah berkaitan dengan persoalan estetika erotis: cantik, tampan, langsing, atletis, dan sejenisnya.
Masalah cantik, tampan, dan seterusnya tergantung dari bahan mentahnya. Lantas mengapa kita tidak jarang menjumpai anak-anak yang lahir dalam keadaan tidak normal, lahir tidak sebagaimana lazimnya? Misalnya, lahir cacat fisik, cacat mental, dan semacamnya? Siapakah yang salah? Tuhankah, dengan pertimbangan Dia sebagai Khalik (Pencipta)? Jika memang Tuhan, berarti Dia menyalahi karakter azali-Nya untuk menciptakan manusia hanya dalam sebaik-baik bentuk.
Untuk meneropong masalah ini, ada baiknya jika merujuk pada disiplin Ulumul Quran. Menurut Hamim Ilyas, doktor Ulumul Quran dari IAIN Sunan Kalijaga, ketika Tuhan, di dalam Alquran, mengidentifikasi suatu perbuatan yang merujuk pada-Nya dengan kata ganti 'Kami' (Nahnu, Inna, dan sejenisnya), pola seperti itu menunjukkan bahwa di dalam proses perwujudan perbuatan tersebut ada keterlibatan pihak (subjek) lain, bukan hanya aktivitas Dia sendiri.
Misalnya, ketika Tuhan menyatakan, 'Sesungguhnya Kami (Inna) yang menurunkan Alquran dan sesungguhnya Kamilah yang akan menjaganya', mengandung pengertian bahwa bukan Tuhan sendirian yang aktif menjaga Alquran, tetapi melibatkan pihak lain. Pihak lain itu bisa saja para penghafal Alquran, ulama, kiai, dan umat Islam pada umumnya.
Begitupun halnya ketika Tuhan mengidentifikasi dengan kata 'Kami' dalam hal penciptaan manusia, ''Sesungguhnya Kami menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk.'' (At-Tiin: 4). Ayat ini menunjukkan adanya pola kerja sama antara Tuhan dan makhluk-Nya di dalam proses terwujudnya perbuatan tersebut (menciptakan manusia). Jadi, ahsanu taqwim kita bukanlah semata-mata hasil kerja Tuhan sendiri, kun fayakun, jadilah indah (ahsanu taqwim)! Ada keterlibatan/peran kita di dalam prosesnya.
Manusia ikut berperan dalam menentukan indah atau tidak bentuk ciptaan Tuhan atas manusia. Dan, Tuhan tidak pernah salah! Mengapa anak-anak lahir cacat? Banyak faktor manusiawi yang melatarinya, misalnya, karena orang tuanya suka berganti pasangan sehingga tertular penyakit kelamin; karena orang tuanya tidak menjaga kesehatan tubuhnya saat mengandung; karena pemerintah menoleransi perzinahan dan pelacuran; karena pemerintah tidak memperhatikan kesehatan kaum perempuan. Kesehatan kelamin, kesehatan fisik kaum perempuan (yang hamil), sangat berpengaruh bagi terwujud atau tidaknya ahsanu taqwim. Wallahu a'lam. (Sabrur R Soenardi) 

Air Mata



Oleh : Mahyudin Purwanto
Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa ada seorang ustadz melihat seorang anak berwudhu di tepi sungai sambil menangis. Ia bertanya, ''Nak, mengapa engkau menangis?''
Anak tersebut menjawab, ''Saya membaca ayat Alquran, 'Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka' (At-Tahrim: 6). Saya khawatir, jangan-jangan Allah memasukkan saya ke dalam neraka.''
Ustadz menjelaskan, ''Wahai anak kecil, kamu tidak akan disiksa, karena kamu belum baligh, jangan merasa takut, kamu tidak berhak memasuki neraka.''
Anak tersebut menjawab, ''Wahai Ustadz, engkau adalah orang yang pandai, tidakkah Ustadz tahu bahwa seseorang yang menyalakan api untuk satu keperluannya, memulai dengan kayu-kayu yang kecil baru kemudian yang besar?''
Rasulullah SAW bersada, ''Tiada pelupuk mata yang tergenangi dengan air mata melainkan pasti diharamkan jasadnya dari neraka, dan tiada air mata yang mengalir pada pipi melainkan akan dihapuskan daripadanya suatu kotoran dan kehinaan, dan apabila ada seseorang di antara umat yang menangis niscaya mereka akan dirahmati. Tiada suatu amal pun kecuali bernilai seperti kadar dan timbangannya, kecuali tetesan air mata. Sesungguhnya air mata itu dapat memadamkan samudera api neraka.''
Tangisan orang-orang saleh terlahir dari khouf (rasa takut). Karena, dengan rasa takut inilah, perbuatan-perbuatan dosa dapat dilenyapkan. Rasulullah menjelaskan, apabila badan seorang hamba gemetar karena takut kepada Allah, maka jatuhlah segala kesalahannya sebagaimana jatuhnya dedaunan dari pohonnya di musim kemarau.
Rasulullah bersabda, ada dua mata yang tidak akan tersentuh oleh api neraka yaitu mata yang menangis karena Allah di pertengahan malam dan mata yang terbangun berjaga di jalan jihad fisabilillah. Dan, di antara yang mendapat perlindungan di hari kiamat adalah seseorang yang berdzikir kepada Allah dalam kesepian lalu berlinangan air matanya.
Allah Rabbul Izzati berfirman di dalam hadis qudsi, ''Demi keperkasaan-Ku, tak akan menyatu dua rasa takut pada diri hamba-Ku dan tidak aku satukan dua rasa aman pada dirinya. Apabila dia merasa aman di dunia, niscaya akan Kami buat takut di hari kiamat; dan apabila dia takut kepada-Ku di dunia, maka akan Kami buat aman dia di hari kiamat. Maka, basuhlah empat hal dengan empat macam. Yaitu, wajahmu dengan tetesan air matamu, gigi-gigimu dengan bedzikir menyebut Tuhanmu, hatimu dengan rasa takut kepada Tuhanmu, dan dosa-dosamu dengan taubat. (Abu Darda kepada para ikhwan di Ka'bah).
Takut kepada Allah akan menumbuhkan jiwa itsar (sifat yang selalu mengutamakan kepentingan saudara seiman daripada kepentingannya sendiri), iffah (kemampuan untuk menjaga diri), dan wara (sikap berhati-hati).
Ramadhan telah memasuki hari-hari terakhir. Saatnya bagi setiap Muslim mengevaluasi nilai dan makna Ramadhan pada hari yang telah terlewati. Dan, menambah amalan semakin lebih baik, menjelang perpisahan dengan Ramadhan.
Sejatinya pula, ada kekhawatiran bila semua ini tidak sempurna, apatah lagi hanya mendapatkan lapar dan haus saja. Sebagaimana Rasulullah menjelaskan, ''Banyak sekali orang yang berpuasa, tetapi tidak ada yang diperolehnya dari puasa itu kecuali hanya lapar dan haus saja (tak berpahala).'' (HR Nasa'i dan Ibnu Majah).
sumber : rpbk