Pada suatu
ketika di Hari Raya Idul Fitri, sufi Ibn al-Wardi bertemu dengan sekelompok
orang yang sedang tertawa terbahak-bahak. Melihat pemandangan itu, Ibn al-Wardi
menggerutu sendiri. Katanya, ''Kalau mereka memperoleh pengampunan, apakah
dengan cara itu mereka bersyukur kepada Allah, dan kalau mereka tidak memperoleh
pengampunan, apakah mereka tidak takut azab dan siksa Allah?''
Kritik Ibn
al-Wardi ini memperlihatkan sikap kebanyakan kaum sufi. Pada umumnya mereka
tidak suka bersenang-senang dan tertawa ria. Mereka lebih suka menangis dan
tepekur mengingat Allah. Bagi kaum sufi, tertawa ria merupakan perbuatan tercela
yang harus dijauhi, karena perbuatan tersebut dianggap dapat menimbulkan
ghaflah, yaitu lalai dari mengingat Allah.
Akibat buruk
yang lain, tertawa ria dapat membuat hati menjadi mati, yang membuat seseorang
tidak dapat mengenal Allah (Al-Zumar: 22), tidak dapat menerima petunjuk
(Al-Baqarah: 7), dan mudah disesatkan oleh setan (Hajj: 53). Pada waktu Perang
Tabuk, orang-orang munafik berpaling dan menolak berperang bersama Nabi. Mereka
justru bersenang-senang dan tertawa ria di belakang beliau. Tentu saja mereka
dikecam oleh Allah dan diancam hukuman berat. Firman-Nya, ''Katakanlah: Api
neraka itu lebih sangat panasnya jikalau mereka mengetahui.
Maka hendaklah
mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang
selalu mereka kerjakan.'' (Al-Taubah: 81-82). Ayat di atas, menurut pakar tafsir
al-Razi, datang dalam bentuk perintah (al-amr), tetapi mengandung makna berita
(al-khabar). Dalam perspektif ini, ayat tersebut bermakna bahwa kegembiraan dan
suka cita orang-orang munafik itu sesungguhnya sebentar, tidak lama, lantaran
kenikmatan dunia tidak kekal alias terbatas.
Sedangkan duka
dan penderitaan mereka di akhirat justru berlangsung lama dan terus-menerus,
lantaran azab dan siksa Tuhan di akhirat kekal abadi alias selama-lamanya. Ini
berarti, setiap orang dihadapkan pada dua pilihan yang bersifat antagonistik,
yaitu tertawa ria di dunia, tetapi menangis di akhirat, atau menangis di dunia,
tetapi riang gembira dan tersenyum di akhirat. Dalam hadis sahih, Nabi pernah
berpesan agar kaum Muslim lebih banyak menangis daripada tertawa ria. Katanya,
''Jikalau kalian mengetahui apa yang kuketahui, pastilah kalian sedikit tertawa
dan banyak menangis.'' (HR Bukhari-Muslim). Di akhirat, berbeda dengan di dunia,
manusia akan terbagi menjadi dua golongan saja.
Pertama,
golongan yang bersuka cita dan tertawa ria. Mereka itulah para penghuni surga.
Kedua, golongan orang yang menderita dan bermuram durja. Mereka itulah para
penghuni neraka. Allah berfirman: ''Banyak muka pada hari itu berseri-seri,
tertawa dan gembira ria, dan banyak pula muka pada hari itu tertutup debu dan
ditutup pula oleh kegelapan. Mereka itulah orang-orang kafir lagi durhaka.''
('Abasa: 38-42). Semoga kita termasuk golongan orang yang dapat tertawa ria di
akhirat kelak. Amin. (A Ilyas Ismail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar